Febi Keponakanku

Berkali kali kucoba menghubungi HP Febi, keponakanku yang kuliah di Semarang, tapi selalu dijawab si Veronica, sekretaris nasional dari Telkomsel. Akhirnya aku spekulasi untuk langsung saja ke tempat kost-nya, aku masih punya waktu 2 jam sebelum schedule pesawat ke Jakarta, rasanya kurang pantas kalau aku di Semarang tanpa menengok keponakanku yang sejak SMP ikut denganku.

Kuketuk pintu rumah bercat biru, rumah itu kelihatan sunyi seakan tak berpenghuni, memang jam 12 siang begini adalah jam bagi anak kuliah berada kampus. Lima menit kemudian pintu dibuka, ternyata Desi, teman sekamar Febi, sudah tingkat akhir dan sedang mengambil skripsi.
"Febi ada?" tanyaku begitu pintu terbuka.
"Eh.. Om pendekar.., anu Om.. anu.. Febi-nya sedang ke kampus, emang dia nggak tahu kalo Om mau kesini?" sapanya dengan nada kaget.
Aku dan pacarku sudah beberapa kali menengok keponakanku ini sehingga sudah mengenal teman sekamarnya dan sebagian penghuni rumah kost tersebut.
"Om emang ndadak aja, pesawat Om masih 2 jam lagi, jadi kupikir tak ada salahnya kalo mampir sebentar daripada bengong di airport" jawabku sambil mengangsurkan lumpia yang kubeli di pandanaran.
"Aku ingin nemenin Om ngobrol tapi maaf Om aku harus segera bersiap ke kantor, maklum aja namanya juga lagi magang, apalagi sekretaris di kantor sedang cuti jadi aku harus ganti jam 1 nanti" jawabnya lagi tanpa ada usaha untuk mempersilahkan aku masuk.
"Sorry aku nggak mau merepotkanmu, tapi boleh nggak aku pinjam kamar mandi, perut Om sakit nih" pintaku karena tiba tiba terasa mulas.
Desi berdiam sejenak.
"Please, sebentar aja" desakku, aku tahu memang nggak enak kalau masuk tempat kost putri apalagi Cuma ada Desi sendirian di rumah itu.
"Oke tapi jangan lama lama ya, nggak enak kalau dilihat orang, apalagi aku sendirian di sini" jawabnya mempersilahkanku masuk.
"Oke, cuman sebentar kok, cuma buang hajat aja" kataku

Aku tahu kamar mandi ada di belakang jadi aku harus melewati kamar Desi yang juga kamar Febi yang letaknya di ujung paling belakang dari 9 kamar yang ada dirumah itu sehingga tidak terlihat dari ruang tamu. Desi tak mengantarku, dia duduk di ruang tamu sambil makan lumpia oleh olehku tadi, kususuri deretan kamar kamar yang tertutup rapat, rupanya semua sedang ke kampus. Kulihat kamar Febi sedikit terbuka, mungkin karena ada Desi di rumah sehingga tak perlu ditutup, ketika kudekat di depannya kudengar suara agak berisik, mungkin radio pikirku, tapi terdengar agak aneh, semacam suara desahan, mungkin dia sedang memutar film porno dari komputernya, pikirku lagi. Ketika kulewat di depan kamar, suara itu terdengar makin jelas berupa desahan dari seorang laki dan perempuan, dasar anak muda, pikirku.

Tiba tiba pikiran iseng keluar, aku berbalik mendekati kamar itu, ingin melihat selera anak kuliah dalam hal film porno, dari pintu yang sedikit terbuka, kuintip ke dalam untuk mengetahui film apa yang sedang diputar. Pemandangan ada di kamar itu jauh mengagetkan dari apa yang kubayangkan, ternyata bukan adegan film porno tapi kenyataan, kulihat dua sosok tubuh telanjang sedang bergumulan di atas ranjang, aku tak bisa mengenali dengan jelas siapa mereka, karena sudut pandang yang terbatas. Sakit perutku tiba tiba hilang, ketika si wanita berjongkok diantara kaki laki laki dan mengulum kemaluannya dengan gerakan seorang yang sudah mahir, dari pantulan cermin meja rias sungguh mengagetkanku, ternyata wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Febi, keponakanku yang aku sayang dan jaga selama ini, rambutnya dipotong pendek seleher membuatku agak asing pada mulanya. Sementara si laki lakinya aku tak kenal, yang jelas bukan pacarnya yang dikenalkan padaku bulan lalu. Aku tak tahu harus berbuat apa, ingin marah atau malahan ingin kugampar mereka berdua, lututku terasa lemas, shock melihat apa yang terjadi dimukaku. Aku ingin menerobos masuk ke dalam, tapi segera kuurungkan ketika kudengar ucapan Febi pada laki laki itu.

"Ayo Mas Doni, jangan kalah sama Mas Andi apalagi si tua Freddy" katanya lepas tanpa mengetahui keberadaanku.
Aku masih shock mematung ketika Febi menaiki tubuh laki laki yang ternyata namanya Doni, dan masih tidak dapat kupercaya ketika tubuh Febi turun menelan penis Doni ke vaginanya, kembali aku sulit mempercayai pemandangan di depanku ketika Febi mulai mengocok Doni dengan liar seperti orang yang sudah terbiasa melakukannya, desahan nikmat keluar dari mulut Febi dan Doni, tak ada kecanggungan dalam gerakan mereka. Tangan Doni menggerayangi di sekitar dada dan bukit keponakanku, meremas dan memainkannya. Aku masih mematung ketika mereka berganti posisi, tubuh Febi ditindih Doni yang mengocoknya dari atas sambil berciuman, tubuh mereka menyatu saling berpelukan, kaki Febi menjepit pinggang di atasnya, desahan demi desahan saling bersahutan seakan berlomba melepas birahi.

Tiba tiba kudengar suara sandal yang diseret dan langkah mendekat, aku tersadar, dengan agak gugup aku menuju kamar mandi, bukannya menghentikan mereka. Kubasuh mukaku dengan air dingin, menenangkan diri seakan ingin terbangun dan mendapati bahwa itu adalah mimpi, ...

Tidak ada komentar: